Batu Misterius


Sinar mentari pagi masuk mengendap melalui ventilasi kamarku. Cahayanya menyinari kedua mataku selayaknya sang mentari membangunkan diriku dari alam mimpi. Aku merasakan kehangatan pagi sehingga aku membuka kedua kelopak mataku dan mulai bangkit melihat suasana diluar ruangan ini.
Kamar tidurku terletak dilantai dua, sehingga aku bisa melihat pemandangan pagi desa ini. Mataku selalu tertuju kearah barat karena disitulah terdapat prasasti Sigiliyph. Sebuah prasasti yang menjadi ikon desaku ini. Batu berbentuk tameng itu masih berdiri dengan kokoh tak terobohkan. Aku sangat takjub dengan batu bertulis tersebut, karena bentuknya yang sungguh artistik menyerupai tameng para prajurit jaman dahulu. Bagian depan batu tersebut terdapat ukiran tulisan yang terdiri dari lima baris dan ditulis menggunakan huruf aneh. Seluruh penduduk desa ini tak ada yang tahu apa arti dari tulisan aneh yang ada diprasasti tersebut. Bahkan aku masih mengingat dengan jelas bahwa 2 tahun yang lalu pernah datang rombongan dari para arkeolog. Mereka datang dengan tujuan untuk menerjemahkan tulisan yang aku anggap aneh diprasasti tersebut. Namun hasilnya nihil. Tak ada satu kata pun yang bisa diterjemahkan.
Tiba-tiba, disaat aku menikmati pemandangan ini. Ibuku mengganggu atmosfer suasana pagi. Dengan berteriak, ia memanggil namaku.
“Rioo! Lekaslah bangun! Jangan bermalas-malasan. Segera rapikan kamarmu dan cepatlah turun membantu Ayah dikebun!”, teriak Ibu yang mengganggu lamunanku. Aku pun menjawab dengan nada malas.
Ibu selalu bersikap seperti itu ditiap pagi. Tak lupa namaku selalu menjadi sapaan Ibu dengan teriakannya. Namaku Rioxa, biasa dipanggil Rio. Aku adalah bocah laki-laki yang berumur 15 tahun. Ayahku adalah seorang petani. Jikalau musim panen seperti ini, Ayah membutuhkan bantuanku dikebun. Karena pada sore harinya para pengepul biasanya mengambil hasil panenan Ayah langsung dari kebun. Hanya kebun warisan Kakek yang dapat membantu perekonomian keluarga ini.
Setelah kurapikan kamarku, dengan segera aku turun menuju ke dapur. Tak lupa aku melirik prasasti Sigilyph dengan badung. Saat aku memasuki dapur yang bernuansa hijau, aku melihat kakak perempuanku satu-satunya yang sangat aku sayangi, ia bernama Lori. Perempuan berparas cantik itu sedang membantu Ibuku memotong sayuran. Namun aku tak menghentikan langkahku, aku langsung menuju ke pintu belakang untuk segera menyusul Ayah dikebun. Tak lupa aku mengambil gunting Ayah yang biasa digunakannya untuk memetik buah hasil panen dan bersiap untuk berangkat ke kebun. Ibuku yang mengetahui aku mengacuhkan mereka, sontak ia memanggilku
“Hei Rio! Mau kemana kamu?”, tanyanya
“Ibu tadi menyuruhku untuk membantu Ayah”, jawabku memperjelas perkataannya tadi pagi
“Tunggu! Kemarilah sebentar”,
“Ada apa lagi, Bu?”, sahutku dengan dongkol sambil menuju kearah Ibu yang didepannya terdapat sebuah semangka segar berukuran besar
“Ini”, ucap Ibu sambil memberiku sebuah pisau besar yang berkarat dan sudah bengkok itu. Pisau itu biasa digunakan Ibu untuk memotong buah-buahan berukuran besar.
“Pisau ini  untuk apa, Bu?”, tanyaku heran
”Ibu ingin memotong semangka ini, tetapi pisau yang biasa ibu gunakan ini sudah berkarat. Tolong kamu bawa pisau ini ke rumah Pak Wo dan minta dia untuk membenarkan pisau ini agar tidak mudah berkarat”, ucap Ibu.
Pak Wo adalah panggilan seorang pandai besi didesa ku, nama lengkapnya adalah Wolfavea, entah mangapa orang-orang lebih suka memanggilnya Pak Wo. Orang ini memiliki postur tubuh yang tinggi dan juga berkulit hitam karena terlalu sering berada di depan tungku perapian yang panas. Dari penampilan fisiknya, orang ini terlihat menyeramkan sehingga aku sedikit ragu untuk pergi menemuinya. Tetapi karena ini adalah perintah Ibuku dan aku tak ingin urusan ini menjadi panjang. Maka aku hanya bisa mengiyakannya.
“Baiklah, Bu”,
“Ini uangnya, hati-hati dijalan ya!”, jawab Ibu dengan menyodorkan beberapa lembar uang.
Rumah pak Wo terletak tak jauh dari rumahku, hanya sekitar tiga puluh meter dari rumah. Jadi hanya butuh beberapa menit dengan berjalan kaki untuk mencapai rumahnya. Sesampainya di rumah pak Wo, aku sedikit ragu untuk mengetuk pintu rumahnya. Tetapi akhirnya aku memberanikan diri mengetuk pintu rumahnya.
“Permisi..”, sapaku ragu
“Iya sebentar”, jawab Pak Wo dengan nada tegas tanpa berteriak. Meskipun ia berada didalam rumah. Kemudian ia menyambutku dengan senyuman ramahnya. Sehingga pada saat itu juga, keraguanku terhadap Pak Wo yang menyeramkan memudar. Ia menanyakan kedatanganku ke rumahnya.
“Ini, Pak. Ibu ingin pisau ini tidak cepat berkarat”, jawabku sambil menunjukkan pisau Ibu yang kubawa. Kemudian ia mempersilahkanku untuk memasuki rumahnya yang sedikit panas karena tungku perapian yang besar berada tepat diruang tengah. Saat masuk ke dalam rumah Pak Wo, dia membawaku ke sebuah ruangan tepat dibelakang rumahnya yang biasa dia gunakan untuk memperbaiki besi-besi tua. Aku juga tidak tahu sebenarnya, yang pasti disana ada sebuah tungku perapian dan beberapa tumpukan besi-besi tua yang sudah berkarat. Rumah tersebut sangat berantakan. Mungkin karena Pak Wo tidak sempat membersihkan rumahnya dan juga ia tidak memiliki siapa-siapa dirumah tersebut. Kemudian aku memecahkan keheningan dirumah ini dengan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini ingin aku tanyakan kepadanya.
“Mmm, Pak Wo selama ini tinggal sendiri?”, tanyaku sedikit ragu
“Iya seperti yang kamu ketahui. Kenapa?”, jawab Pak Wo sambil menyiapkan tungku perapiannya
“Tidak apa-apa. Lalu, bagaimana dengan keseharian Bapak? Mulai dari makan, bekerja, cuci baju, apa semuanya Bapak kerjakan sendiri?”, cetusku lagi
“Memang seperti itu. Namanya juga hidup sendiri. Tapi untuk urusan makan biasanya makan diwarung sebelah. Terkadang aku membeli bahan makanan dipasar dan kumasak sendiri. Itupun jika aku tidak sibuk”, jawab Pak Wo dengan memanasi tungku perapian
“Lalu mengapa Pak Wo tidak menikah saja? Jika ada istri dirumah maka ia dapat membantu meringankan pekerjaan rumah”, celotehku dengan ragu karena aku takut menyinggung perasaan Pak Wo
“Setiap orang punya alasan sendiri atas apa yang mereka lakukan”, jawab Pak Wo sambil berjalan ke arah ku.
Kemudian dia meminta pisau yang kubawa. Setelah pisau itu kuberikan kepadanya, dia mempersilahkan aku untuk duduk di kursi kayu yang terletak di ujung ruangan ini. Namun karena rasa penasaranku ingin melihat cara Pak Wo menyulap pisau berkarat ini, maka kupidahkan kursi itu dan kudekatkan disebelahnya. Selama pak Wo bekerja aku hanya bisa diam dan memperhatikan apa yang dilakukan Pak Wo. Dari mulai melebur pisau itu, kemudian mencetak, kemudian mengasahnya, hingga akhirnya pisau ini bisa menjadi pisau yang baru lagi.
“Ini!”, ucap Pak Wo sambil memberikan pisau Ibu yang nampak seperti baru lagi
“Kamu tadi mengatakan kalau ibumu ingin pisau ini tidak mudah berkarat, jadi aku mencampurnya dengan logam lain agar bisa menjadi pisau stainless steel. Pisau stainless ini akan memerlukan waktu yang lama untuk bisa berkarat lagi” sambungnya
“Oh, terima kasih banyak Pak. Ini uangnya”, ucapku sambil merogoh kantong celanaku dan memberikan uang dari Ibu. Pak Wo menolak pemberian uang Ibu. Ia mendorong tanganku dan menyuruhku untuk segera pulang. Ia mengingatkanku akan Ibu yang sedang menungguku untuk menggunakan pisau itu. Sehingga aku berpikir bahwa yang diucapkan Pak Wo benar. Aku berpamitan pulang kepadanya dan menganggap ini sebuah harga khusus yang diberikan untuk tetangganya.
Sesampainya dirumah, Ibu kaget melihatku memberikan pisau dapurnya yang sudah baru lagi dengan uangnya yang masih utuh. Sehingga ia menegurku.
“Mengapa uangnya masih utuh, Rio? Apa kamu lupa memberikan kepadanya?”, tanya Ibuku
“Tadi sudah kuberikan, tetapi Pak Wo menolak uang ini. Mungkin saja dia menggratiskan ini karena kita ini tetangganya”, jawabku santai.
“Tapi juga bukan seperti itu. Ibu jadi tidak enak sendiri dengan Pak Wo. Lagi pula Pak Wo juga butuh makan. Lain kali kalau dia begitu lagi, lebih baik tinggalkan saja uangnya”, ucap Ibu dengan tegas
“Sudah kalau begitu, cepatlah mandi dan antarkan bekal ini untuk Ayahmu dikebun!”, sambungnya dengan melihat diriku yang masih belum mandi. Kakakku yang mendengar perkataan Ibu tertawa geli.
Tanpa menjawab apa yang diucapkan Ibu, aku segera menuju ke kamar mandi. Setelah aku membersihkan badan, tanpa basa-basi langsung saja kuambil bekal yang sudah disiapkan Ibu di meja makan. Saat keluar dari rumah kulihat disana ada Pak Tsutarja, kepala desa ini sedang berjalan melintasi prasasti Sigiliyph sambil membawa tiga kardus yang ditumpuknya. Entah barang apa yang sedang dia bawa, tapi barang itu terlihat banyak sekali. Kemudian aku berniat  membantunya. Tetapi saat aku berlari kearahnya dan kupanggil namanya, mungkin karena aku memanggilnya terlalu keras di jarak yang sedekat itu. Sehingga dia terkejut dan tersandung. Pak Tarja terjatuh, kardusnya pun menjadi rusak. Aku berusaha menolongnya tetapi alangkah sialnya, aku pun ikut terjatuh. Tidak sengaja kami berdua menyentuh Prasati Sigiliyph.
Tiba-tiba, kami merasa melihat kejadian dimasa lampau dari prasasti itu. Kami melihat ada sebuah meteor yang akan jatuh kearah kami. Dengan sontaknya, aku dan Pak Tarja berteriak meminta bantuan. Jika benda tersebut jatuh didesa ini maka ia bisa meledakkan daerah ini. Tetapi, datang makhluk seperti monster berukuran besar. Ia meloncat kearah meteor tersebut. Dengan sekuat tenaga, ia berusaha menahan meteor itu. Namun sayangnya, dia tidak bisa menahan meteor itu sehingga membuatnya jatuh tertindih meteor. Disaat monster itu mati, jasadnya berubah menjadi abu yang bercahaya dengan terangnya dilangit gelap dan sunyi  kemudian hilang tertiup angin.
Kejadian menegangkan itu terjadi di malam hari.  Saat semua orang tertidur sehingga tidak ada orang yang melihat kejadian itu. Namun ternyata, ada seorang bocah laki-laki yang keluar dari toko pandai besi dengan membawa pisau dari toko tersebut. Dengan tatapan kosong seperti layaknya orang kerasukan, ia mengukir batu meteor itu dengan pisau yang dia bawa tadi. Setelah dia selesai mengukir tulisan di batu itu kemudian bocah itu tiba-tiba terjatuh pingsan tepat didepan batu meteor. Anehnya batu meteor itu bentuknya mirip sekali dengan prasasti Sigiliyph didesa ku dan toko pandai besi itu terletak di sebelah utara batu meteor itu sama seperti rumah Pak Wo yang juga seorang pandai besi.
Setelah melihat kejadian dimasa lalu dan kembali ke dunia nyata. Aku dan Pak Tsutarja langsung berpandangan terkejut melihat satu sama lain. Kami mengurungkan niat kami untuk melakukan tugas yang seharusnya kami kerjakan. Aku dan Pak Tsutarja menuju rumah Pak Wo dan menceritakan apa yang baru saja terjadi. Kemudian Pak Wo hanya bisa tersenyum dan kemudian bercerita kalau bocah yang mengukir batu itu adalah Kakeknya. Dan bocah tadi ternyata kerasukan arwah dari monster yang berusaha menahan meteor itu jatuh dan meledak. Ternyata bocah itu alias Kakek Pak Wo juga tidak tahu apa yang baru saja ia tulis. Dia hanya diberi mandat untuk menjaga batu ini selayaknya batu nisan dari makam monster itu. Tetapi setelah menceritakan kisah itu kepada Pak Wo dan ia menceritakan apa yang sebenarnya terjadi dimasa lalu, ia memohon perjanjian kepadaku dan Pak Tsutarja untuk tidak menceritakan kejadian tersebut terhadap warga ataupun orang lain. Tak satupun boleh mengetahui cerita tersebut kecuali kami bertiga karena kami bertiga telah melihat apa yang sebenarnya terjadi pada batu itu. Aku dan Pak Tustarja menyetujui dan memahaminya. Setelah itu, kami bertiga melakukan aktivitas masing-masing tanpa menujukkan raut yang baru saja kami alami. Aku pun bergegas menuju kebun untuk membantu Ayah dan berharap ia tidak menungguku terlalu lama. Dalam perjalanan, aku hanya tersenyum lega karena telah mengetahui asal-usul batu misterius tersebut.




Anggit Damar Susanto
X MIA 3
05